Skip to main content

Berdamai dengan diri


   Apakah ada yang telah menonton film “Critical Eleven”? C.E adalah film yang disadur dari novel Ika Natassa dengan judul yang sama, diperankan dengan sangat apik oleh Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka beradu peran dengan sejumlah artis-artis kondang Indonesia lainnya seperti Slamet Rahardjo Djarot, Hamish Daud, Refal Hadi, Revalina S. Temat, Mikha Tambayong dan lain-lain. Film arahan Jenny Jusuf, Robert Ronny, dan Monty Tiwa ini merupakan sebuah karya yang sangat luar biasa. Angkat topi untuk sinematografi, screen-write (oleh Ika Natassa), serta seluruh eksekusi film tersebut .

   Sedikit cerita mengenai latar belakang judul “Critical Eleven”, Adinia berkata bahwa critical eleven adalah suatu istilah dalam dunia penerbangan yang menjelaskan mengenai 11 menit paling kritis dalam penerbangan, yaitu 3 menit setelah take-off dan 8 menit sebelum landing. Dalam 11 menit ini kru pesawat harus berkonsentrasi penuh karena 80% kecelakaan pesawat terjadi pada waktu tersebut. Critical eleven juga bisa menggambarkan hubungan kita dengan seseorang. Tiga menit pertama saat kesan pertama terbentuk, dan 8 menit terakhir ketika senyumnya, raut wajahnya, tindak tanduknya menjadi penentu apakah akhir dari pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang lebih atau justru menjadi perpisahan. Critical eleven adalah sesuatu yang sangat vital baik dalam konteks penerbangan maupun dalam konteks hubungan.

   Film ini mengisahkan sepasang suami istri yang diuji oleh Tuhan dengan cara Adinia (alias Anya) dan Reza (Ale –red) kehilangan anak pertama mereka pada trimester ke-3 kehamilan (3 bulan terakhir menjelang kelahiran), kematian yang dikarenakan oleh lilitan tali pusat sehingga janin tidak cukup mendapatkan asupan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan. Seorang anak yang sudah sangat ditunggu-tunggu dengan penuh suka cita, namun Tuhan memiliki rencana lain terhadapnya.

  Kehilangan tersebut membuat Anya kehilangan Ale, dan mungkin Ale juga kehilangan dirinya sendiri. Hal tersebut membuat hubungan mereka menjadi renggang, namun didalam hati tetap saling mendoakan. Hingga pada suatu waktu mereka berdua akhirnya berdamai dengan diri mereka masing-masing, Anya berziarah ke makam Aidan (anak mereka – red), dan Ale mengunjungi kamar anaknya. Mereka menerima kenyataan dan bangkit bersama, belajar untuk berserah dan memahami satu sama lain. 

Seperti biasa, penerimaan diri adalah hal paling sulit untuk dilakukan. Bila sudah berhasil melakukannya, seluruh lelah dan resah jiwa akan menghilang dalam sekejap mata. Penerimaan dan perdamaian dengan diri sendiri akan memberi kita ruang untuk tumbuh, menjadi manusia yang lebih dan lebih baik lagi.

  Jadi mari kita bersama-sama belajar untuk berdamai dengan diri kita masing-masing, ya?


   (photo courtesy of google.com)




Comments

Popular posts from this blog

Label-free

I mentioned sixth sense in one of my previous post, the “What Should I do” one. True, I stated that the longer we know someone, we’ll develop some kind of sixth sense that’ll help us “communicate” with them. A wordless communication, so to say. That mind reader, gesture-talk kind of things. But I must say that that telepathy is a double edged sword. Why? Because it has its own downside. Opinion. Allow me to quote another saying of Haemin Sunim : “when we think we already know someone, we stop making effort to know them better. Consider when you think you already know your loved ones and when you do, you are failing to see them as they are right now, you see them through the prism of previously held opinions , instead.” Those words quoted from his “Love for Imperfect Things” book, and again, I could not believe how true it is. That “prism of previously held opinions” have an immense power to destroy our relationships because we instantly judge people. We did it in a heart

The Family Who Read

         I was raised in a family who appreciate reading. It’s all started way back when we were young. We grew up reading comic books, our parents often gave us books as our “naik kelas”’s gifts. So we ended up looking forward to books. I remember the feeling when we were anxiously waiting for our packs of books to open, couldn’t wait to read it as we already waiting for it for a long time. And as a continuation of that, by the time we were a teenager, we expand our liking to novels, and our house filled with fantasy books such as “Eragon”, “The Bartimaeus Trilogy” by Jonathan Stroud, books written by Cornelia Funke, “Maximum Ride” by James Patterson and the likes which supplied by our mother. So myself in particular found solace and curiousity in fantasy books.           So then we developed our love for books. Growing up, each of us found our own genre, as my brother likes “Haruki Murakami”, me and my father on motivation-filled books, and my mother stays with her love for fa

Learn to Let Go

Let go; letting go :           “An act of letting go; to free yourselves from self-destructive things. Be it a thought, a person, a feeling and anything of the sorts. To make peace with yourself.”           Letting go of someone or something truly is not an easy task, so easy to say yet extremely difficult to do. I just had a very tough day as me and my friend shouldered something we shouldn’t have. We got caught up in the middle of something so bad, which may affect our future (in a bad way, of course). A “bad luck”, so to say. We’re just some unlucky dude who got involved in some unlucky event, basically just being in the wrong place, at the wrong time. Same old story. And so I got home, bursting my anger to an (also) unlucky friend of mine and sure enough, I ended up regretting what I did later.           As my head start to think more clearly, I can see fear as the main culprit of my raging anger. Fear of my lack of knowledge that will eventually lead to my teacher’s